Kutipan Novel Islamedina yang Paling Banyak Menguras Air Mata

Kutipan Novel yang Menginspirasi

Kutipan novel yang menginspirasi kadang dipenuhi oleh air mata ketika kamu membacanya.

Seperti pada kutipan novel Islamedina yang saya tulis ini. Feedback banyak pembaca yang telah menyelesaikan novel setebal 750 halaman yang dibagi dalam dua jilid itu mengatakan bahwa bagian inilah yang paling membekas dalam ingatan mereka.

Dengan jumlah lebih dari 3.000 kata, bagian ini sebenarnya tidak dapat lagi disebut kutipan.

Namun tidak mengapa, walaupun bukan kutipan novel best seller yang telah terjual jutaan eksemplar, bagian ini tetap memiliki nilai yang sangat tinggi untuk dihayati.

Kamu punya kisah hidup menarik untuk dijadikan buku namun bingung cara menuliskannya?

Kutipan Novel Islamedina yang Paling Menyentuh Hati Banyak Pembaca

Oh ya, apakah kamu sudah pernah mendengar novel berjudul Islamedina ini?

Jika belum, maka selamat. Sekarang adalah saat yang tepat untuk membaca salah satu cuplikan terbaiknya.

Novel Islamedina adalah buku yang saya tulis dalam durasi yang paling lama. Saya menyelesaikan penulisan naskah buku ini pada tahun 2020, memakan masa empat tahun semenjak saya memulainya pada tahun 2016. Allhamdulillah, novel ini juga sudah beredar secara luas di Indonesia dan mendapat sambutan yang baik, meskipun penerbitannya dilakukan secara mandiri.

Nah, pada kesempatan ini, saya akan membagikan salah satu bagian paling menarik dalam buku ini kepada pembaca blog www.penulisgunung.id. Bagian ini mungkin termasuk kutipan novel baper yang saya sendiri pun sebagai penulisnya, mengalami kesulitan yang paling tidak mudah untuk dilawan ketika menuliskannya.

Lantas, bagaimana sih, kutipan dari novel Islamedina yang telah dibaca ribuan orang ini?

Yuk, dibaca dengan penuh penghayatan, ya.

Oh ya, saya menambahkan beberapa gambar pada artikel ini sebagai penjeda tulisan, supaya mata kamu tidak terlalu kelelahan saat membacanya.

Air Mata Saksi Mata

Bagian terakhir dari bab Hari Kembali ini akan sedikit berbeda dari keseluruhan tulisan dalam buku ini. Jika bagian lain dalam keseluruhan buku ini berkisah dari sudut pandang seorang ayah, maka kali ini saya akan berusaha untuk menuturkannya dari sudut pandang seorang ibu. Karena pada hari kejadian, pada detik-detik Medina menghadapi kematiannya, yang ada bersamanya adalah ibunya, Dek Nafi’. Jadi sudut pandang yang dimiliki sang ibu dalam momentum Hari Kembali Islamedina, jauh lebih dalam daripada dari sudut pandang saya sendiri sebagai ayahnya.

Saya tak menyaksikan Medina terjatuh, saya tak menyaksikan ia dibawa ke RSU Muntilan, saya tidak menyaksikan tim dokter yang putus asa karena tak bisa menyelamatkannya, dan saya juga bukan orang yang menggendong jasad Medina dari rumah sakit ke rumah Mbah Uti dalam ambulance mobil jenazah. Semua bagian itu telah ditakdirkan untuk dijalani oleh ibunya sendiri. Dek Nafi’-lah yang menjalani bagian-bagian paling berat tersebut.

Untuk itu sebagai pengingat yang lebih dalam, sebagai detail yang lebih mampu melukiskan kejadiannya, maka pada bagian ini hingga beberapa halaman ke depan, saya akan berupaya untuk menulis dari sudut pandang Ibu Medina. Untuk itulah dalam bagian ini, huruf dan gaya bertuturnya saya ganti. Supaya barangkali, pesan yang disampaikan oleh isteri saya saat menceritakan kembali bagian ini kepada saya, dapat tersampaikan kepada sahabat pembaca dengan sempurna pula.

Ini tentu saja tidak mudah untuk dituliskan, tapi, Bismillah, Dengan nama Allah Yang Maha Memudahkan, saya akan berusaha menuliskannya…

Randukuning, 14 Maret 2016

Mas Anton sudah sejak pagi berangkat ke Jogja untuk mengambil dompetnya yang tertinggal di mobil Mbak Halim. Aqsho yang baru berumur tiga bulanan juga baru saja tertidur setelah menangis minta dikelonin. Ibu baru saja menyelesaikan doanya setelah sholat dhuha, dan beliau berniat melanjutkan kegiatannya dengan mencuci sajadah di kolam belakang rumah. Ibu memang terkenal dengan sifatnya yang perfectionis masalah reresik dan mencuci baju. Meskipun hanya dikucek dan dibilas seperti pada umumnya, namun dalam urusan mencuci pakaian, tidak ada yang dapat mengalahkan kehebatan Ibu.

                Melalui aplikasi whatsapp Mas Anton mengabarkan jika dompetnya sudah ada dan barusan dianter sama Mbak Halim dan Mas Aries di Terminal Jombor. Berdasarkan pesan Mas Anton, dan juga sudah kami diskusikan sebelumnya, setelah mendapatkan dompetnya yang tertinggal itu ia akan melanjutkan perjalanan ke sekitar Malioboro untuk mencari beberapa barang yang ia butuhkan.

                Sambil membalas pesan-pesan Mas Anton, aku melihat langkah ibu yang keluar pintu belakang sambil menenteng sajadah yang akan dicucinya. Di halaman rumah sendiri sedang sepi saat itu, siswa MTs sedang belajar di ruang kelas mereka masing-masing, begitu juga dengan Mas Burhan dan Mas Aziz yang juga sedang memberi pelajaran.

                Baru saja beberapa langkah ibu keluar dari pintu dapur, tiba-tiba teriakan histerisnya mengagetkanku.

                “Ya Allaaaah, Astagfirullahaladzim!”

                Pekikan ibu secara refleks itu langsung saja membuatku menghambur ke kolam belakang untuk melihat apa yang terjadi.

                “Nunopo Buk?”

Teriakku keras dalam rasa penasaran. Aku belum dapat melihat apa yang terjadi, pandanganku tertutup untaian pakaian-pakaian jemuran.

                “Medina gejegur blumbaaang!!!”

Jawab ibu dengan panik.

                Darahku seakan disentak dengan keras mendengar hal itu. Namun kemudian itu semakin membuatku seakan tiba-tiba menjadi orang gila setelah melihat apa yang ada  di tempat itu!

                Ibu sudah basah kuyup, wanita tua yang melahirkanku itu sedang memangku sosok Medina yang sekarang diam tak bergerak!

                Tatapanku nanar, hatiku seakan diguncang gempa, tubuhku seolah rontok tiada bertulang! Panik, bingung, takut, khawatir, kaget, bercampur menjadi satu, membuatku sekarang menjerit dengan histeris!

                “Tolooooong!!!!”

                “Tolooooong!!!”

                Dalam kepanikan dan kegemparan seperti itu, aku sempat melihat kondisi Medina yang ada dalam pangkuan Ibu, gadis kecilku itu sudah tak bergerak, kepalanya terkulai dengan lemas!

                Melihat kondisi Medina yang sudah demikian dalam pangkuan Ibu. Tubuhku seakan luruh, kehilangan kekuatan untuk berdiri! Dan sesaat kemudian aku sudah ambruk di pinggir kolam!

                Tapi aku tidak pingsan!

                Waktu saat itu seperti diguncang-guncang, kepanikan membuatku seakan hilang kesadaran. Di depanku ibu memeluk Medina dalam tangisnya yang sudah pecah. Dan karena masih baru beberapa detik, teriakan histeris minta tolongku belum ada yang merespon. Aku tak tahu apakah ada yang mendengar atau tidak, tapi sedetik kemudian aku sudah menghambur panik menuju kantor guru MTs. Instingku langsung memerintahkan kakiku untuk berlari mencari bantuan!

                “Tolooong! Tolooong! Tolooong!”

                Suara teriakanku yang panik langsung membuat Pak Hernanto, salah satu guru MTs, bangkit merespon dengan tergesa.

                “Nopo, Mbak? Nopo?”

                “Medina gejegur blumbang!”

Jawabku cepat di antara tangis kepanikan.

                Mata Pak Hernanto terbelalak, namun sesaat kemudian ia sudah berlari menuju ke belakang, di mana ibu memangku Medina yang sudah tak bergerak. Di tempat itu, Mas Kusni, salah satu tetangga, sudah ada bersama ibu.

                Karena dilanda kepanikan, detail selanjutnya tak begitu aku ingat mengenai apa yang dilakukan Mas Kusni dan Pak Hernanto. Akan tetapi aku hanya tahu satu atau dua menit kemudian mereka sudah menderu di atas sepeda motor menuju Rumah Sakit Umum Muntilan. Tubuh Medina yang terkulai tak bergerak dipangku oleh Mas Kusni di bagian belakang, sementara Pak Hernanto menarik gas dengan cepat. Mereka segera menghilang di ujung gang!

                Dalam kepanikan dan ketakutan yang merasuk, aku masih berteriak-teriak minta tolong di depan halaman kantor MTs. Kemana Mas Burhan dan Mas Aziz, pikirku. Mengapa mereka tak juga muncul di saat kondisi seperti ini?

                Namun tidak lama kemudian, sosok Mas Burhan tiba-tiba terlihat di lorong masuk menuju halaman kantor. Aku segera berlari menyongsongnya!

                “Mas tolooong! Tolong!”

                Aku berteriak dengan panik, tetap dalam isak tangis yang tidak karuan.

                “Nopo?”

Mas Burhan menjawab tergesa. Entah apakah ia telah mendengar teriakanku sebelumnya atau tidak.

“Medina gejegur blumbang, Mas. Tulung terke aku ke rumah sakit sekarang!”

Suaraku pecah dalam tangis, wajahku sudah membanjir dengan air mata. Kepanikan masih melanda diriku.

Mas Burhan nampak kaget sesaat. Namun kemudian ia menjawab dengan cepat, berusaha menenangkan diriku.

“Yo, kita berangkat ke rumah sakit. Sa’iki kamu sing tenang. InsyaAllah Medina nggak apa-apa!”

Sambil menjawab, Mas Burhan bergegas melangkah menuju halaman depan MTs, di mana sepeda motor para guru biasa diparkirkan. Aku menyusul langkahnya dengan cepat, sambil tetap menangis dalam kondisi yang terasa entah dengan kalimat apa harus aku jelaskan.

“Kamu yang tenang, InsyaAllah Medina nggak apa-apa”

Mas Burhan mengulang kalimatnya lagi. Berusaha untuk menahan laju kepanikan dan kekhawatiranku yang telah jatuh sangat dalam. Aku tak menjawab, hanya terus bergumul dengan tangis ketakutan sambil naik ke atas sadel boncengan motor Mas Burhan. Sesaat kami sudah menderu pula menyusul Medina yang telah lebih dulu dibawa oleh Pak Hernanto dan Mas Kusni.

Aku ingin menjadi tenang seperti yang Mas Burhan katakan, aku ingin berprasangka yang baik dan positif saja, dan aku juga hanya ingin berpikiran bahwa Medina tidak akan apa-apa. Namun tidak dengan hatiku, tidak dengan sudut terkecil dalam kalbuku, dan tidak pula dengan jiwa terdalamku sebagai ibu Medina. Entah mengapa, bisikan lembut dalam hatiku itu mengatakan bahwa Medina tidak baik-baik saja. Medina, gadis cantik yang terlahir dari rahimku 29 bulan yang lalu itu tidak bisa dikatakan untuk tidak akan terjadi apa-apa!

Motor yang dikendarai Mas Burhan melaju dengan cepat seperti detak jantungku yang memburu dalam kekhawatiran. Namun, bagaimana pun juga Mas Burhan tetap mengendarai motornya dengan cukup pelan dalam hitunganku. Hingga untuk sampai di RSUD Muntilan, kami setidaknya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit.

Sebelum masuk ke areal RSUD Muntilan, Mas Burhan berbelok dari arah SMA Pangudi Luhur yang di belakangnya terdapat sebuah lapangan Van Lith atau yang lebih akrab dengan sebutan Lapangan Pasturan. Di tempat itu, di atas sadel sepeda motor Mas Burhan, berjarak sekitar 200 meter lagi dari gedung Rumah Sakit, entah mengapa rasanya dadaku seolah penuh dengan sesak. Aku mungkin saja menjadi sulit bernapas karena itu, tapi aku tidak jatuh atau pingsan. Aku hanya merasa bahwa rongga dadaku telah penuh dan demikian menyesakkan. Medina, bagaimana kondisi gadis kecilku itu sekarang?

Motor Mas Burhan masuk ke halaman RSUD Muntilan dengan cepat. Karena lokasi UGD RSUD Muntilan tepat berada di depan pintu masuk, maka dengan cepat pula aku sampai di tempat itu.

Sebelum diperbaharui seperti sekarang, pintu UGD berbentuk otomatis yang dengan seketika terbuka jika ada orang yang berdiri di depannya. Dengan tergesa dalam kekhawatiran aku melangkah cepat ke ruang UGD. Sebelum langkahku memasuki tempat yang akan membuat jiwaku serasa lenyap sebentar lagi, di depan pintu UGD aku sempat berpapasan dengan seorang bapak-bapak yang sedang menangis.

Bapak-bapak itu tidak menangis dengan terisak pelan, atau tersedu dengan sesengukan. Tapi ia menangis dengan kuat, hampir seperti tangisan seorang anak kecil berusia lima tahunan. Sambil menangis ia menyempatkan untuk menoleh masuk ke dalam UGD. Tangisnya menggeru lagi setelah itu.

Aku tak ingin tahu apa yang bapak itu tangisi sekarang. Aku hanya ingin berjumpa dengan Medina dan mengetahui kondisinya. Jadi, tanpa peduli lagi pada si bapak-bapak yang terpaku dalam tangisannya, aku pun melangkah masuk. Dan saat itulah kemudian, pemandangan dalam UGD itu membuatku seakan kehilangan tulang-tulangku lagi.

Di atas sebuah ranjang di tengah ruangan UGD, aku melihat tubuh Medina yang terbaring dengan dikelilingi oleh para petugas medis. Kondisi Medina sepenuhnya sudah polos, baju yang sebelumnya ia kenakan, semuanya sudah dilepas. Para petugas medis yang nampaknya terdiri dari 2 orang dokter dan sekitar 4 orang perawat itu baru saja selesai memberikan upaya penyelamatan pada Medina menggunakan pompa-pompa yang dimasukkan ke mulut Medina. Aku tidak tahu apa nama alat itu, tapi itu mungkin digunakan untuk memompa oksigen ke jantung puteri kecilku.

Apa yang membuat aku terhenyak kemudian adalah karena baru satu atau dua langkah aku masuk ke ruang UGD dan menyaksikan pemandangan itu, salah satu dokter wanita yang menangani Medina nampak mundur sambil berucap;

“Sudah terlambat, kita tidak bisa menyelamatkannya lagi, anak ini sudah meninggal”

Aku mematung menemukan suara itu menerabas gendang telingaku. Serasa gelegar petir yang menghantam kepalaku seketika. Dunia yang terang benderang seolah berubah demikian gelap dan pekat. Tulang-tulang yang meyangga tubuhku ini, seakan luruh seperti rontoknya daun kering ditiup angin. Atau jika itu sukar dipahami perumpamaannya,  maka tubuhku seakan segenggam kapas yang disiram oleh air, langsung hilang tiada berbentuk. Pandanganku seketika gelap dan pekat, cahaya matahari yang membias dari jendela dan pintu UGD, sekarang seolah hilang. Semuanya kelam seperti  aku sedang terperangkap dalam sebuah goa yang sangat dalam.

Benarkah apa yang ku dengar?

Benarkah dokter itu barusan saja mengatakan jika Medina tidak dapat lagi diselamatkan?

Di telingaku yang lain aku juga mendengar bisik-bisik antar para perawat yang memastikan bahwa aku adalah ibunya Medina. Sementara yang lain ada yang meragukannya karena menilai tubuhnya yang tergolong kecil untuk bisa memiliki anak gadis cantik seusia Medina. Namun entah beberapa kejap kemudian para petugas di UGD itu sudah dapat memastikan bahwa memang akulah ibunya Medina. Bahwa memang akulah ibu dari anak yang barusan tidak dapat diselamatkan nyawanya itu!

Ketika ragaku seolah melompong mendengar perkataan dokter wanita tadi, tangisku kembali pecah mengembalikan kesadaranku yang entah tinggal berapa banyak. Bagaimana mungkin Medina tidak bisa diselamatkan lagi? Bagaimana mungkin gadis kecil yang aku dandani dan aku beri bedak wangi tadi pagi ini sudah hilang di depan mataku sendiri?

                Beberapa perawat di UGD mulai menenangkanku yang mulai kembali pecah dalam tangis. Di depan sana, pompa-pompa oksigen untuk Medina mulai dijauhkan dari tubuhnya. Benda-benda itu mungkin sudah tidak berguna lagi bagi Medina. Tapi, Ya Allah, benarkah gadis kecilku tidak bisa diselamatkan lagi?

                “Dokter, tolong Dok, tolong selamatkan anak saya”

                Aku memelas dengan wajah banjir air mata kepada seseorang yang entah darimana sudah menghampiriku dan berusaha menenangkan diriku. Diriku yang seakan hilang bentuk ini dirangkulnya, diajaknya berjalan menuju bagian belakang UGD. Prosedur meminta mereka memisahkan orang yang sedang terjatuh dalam histeris kesedihan dan pasien yang mereka tangani.

                “Iya, iya, Mbak yang sabar. Walaupun ibu seorang Dokter, Ibu juga hanya manusia biasa. Ibu sudah berusaha, tapi ini semua sudah menjadi ketentuan Allah”

                Dokter wanita yang merangkulku itu berusaha menenangkan aku kembali. Usianya lebih tua dari dokter yang tadi berusaha menyelamatkan Medina. Dari penampilan dan usianya, ia terkesan lebih bijaksana dibanding yang lainnya.

                “Tolong selamatkan anak saya Bu Dokter!”

                Aku menghiba lagi, memohon dengan seluruh pengharapan yang masih aku miliki.

                “Tolong selamatkan Medina, Bu Dokter”

                Entah apa lagi yang dikatakan oleh Dokter berjilbab itu untuk menenangkanku, akan tetapi yang masih aku ingat adalah ia kembali mengatakan bahwa semuanya telah menjadi ketentuan dan takdir Allah. Dan aku hanya bisa bersabar menghadapinya.

                Sekeras apa pun aku memohon, sudut terkecil hatiku juga membisikkan kesadaran bahwa itu tidak mungkin lagi. Upaya menyelamatkan nyawa Medina yang dilakukan oleh manusia sudah menjadi tepinya, telah menyentuh garis batasnya. Secara medis, Medina sudah dinyatakan meninggal dunia dan tidak mungkin lagi untuk diselamatkan.

                Namun jika kalian adalah seorang ibu, atau jika kalian adalah ibunya Medina, bagaimana kalian akan dengan mudah menerima itu? Bagaimana mungkin aku akan menerima dengan mudahnya anak yang sekitar setengah jam yang lalu baru saja meminta aku mengeloninya kini sudah tidak ada ruh lagi dalam jasadnya? Aku berusaha menolak kenyataan itu, melawan kenyataan takdir dengan harapan yang dibangun dari angin. Tapi sungguh Allah Yang Maha Menguasai segala sesuatu, tetap saja partikel dalam darahku membangunkan kesadaran bahwa apa yang dikatakan oleh Dokter itu memang adalah sebuah kebenaran.

                “Biarkan saya bersama Medina, Bu Dokter. Izinkan saya menemaninya”

                Aku memohon lagi kepada dokter itu yang tetap berusaha menenangkan diriku yang sedang guncang. Tapi lihatlah, aku mengubah permohonanku. Jika sebelumnya aku meminta kepada dokter itu untuk menyelamatkan nyawa Medina, namun sekarang aku meminta diizinkan untuk membersamai Medina, menemani dirinya. Jika demikian, apakah aku telah menerima bahwa Medina memang sudah meninggal dunia?

                “Nanti Mbak tidak kuat, Mbak bisa pingsan” jawab si Dokter itu lagi, berusaha mencegahku kembali.

                Secara protokoler, apa yang terjadi dengan Medina dan aku pada Senin pagi yang kelabu ini memang harus mendapat perlakukan khusus. Mereka mencegahku, mungkin saja karena ingin melindungi diriku. Tapi, akankah aku membiarkan Medina seorang diri di sana sementara aku ibunya hanya berdiri di kejauhan dalam tangis dan kehilangan harapan?

                “Saya kuat Bu Dokter, saya kuat”

                Aku membalas ucapan bu Dokter itu sambil menunjukkan mimik bahwa apa yang ku katakan adalah benar. Bahwa aku memang kuat bersama Medina dengan keadaannya yang sekarang.

Aku mengulang lagi permohonanku berkali-kali, sampai nampaknya Dokter itu yakin bahwa aku memang kuat menghadapi kenyataan yang barusan saja digulirkan Tuhan kepadaku hari ini.

                Aku tidak tahu si Dokter itu mengatakan apa, namun kemudian ia mengantarkan aku ke tempat di mana Medina sudah terbaring sendiri di ruang UGD. Medina sekarang dibaringkan di atas sebuah ranjang tersendiri, sekelilingnya ditutupi tirai berwarna biru sehingga seakan ada di dalam sebuah kamar. Tubuhnya yang polos ditutupi oleh selembar kain tipis berwarna merah muda, sementara wajahnya yang jelita dibiarkan terbuka. Medina terbaring dengan damai, seperti tidurnya tadi malam. Namun pagi ini di antara wajahnya yang cantik, bibirnya telah berubah agak membiru.

                “Mbak Medina, bangun. Ini ibuk sayang”

                Aku mengawali kepiluan itu dengan mencium dan membelai wajah Medina. Ia hanya diam saja tak bergeming

“Mbak Medina, bangun sayang. Ditunggu Ibuk, ditunggu Adek Aqsho, ditunggu Ayah”

Aku membisikkan kalimat seperti itu berkali-kali di telinga permata hatiku. Aku berharap Medina akan terbangun dan kembali memelukku, tapi Demi Allah, ada bagian dari sudut hatiku yang seakan-akan menolak harapan seperti itu.

“Bangun Mbak Medina, sebentar lagi ayah pulang dari Jogja. Ditunggu adek Aqsho di rumah Uti, ada Ibuk di sini”

Beberapa saat setelah saya bersama Medina dalam kondisi seperti itu, Mas Burhan tiba-tiba masuk dalam ruangan pula dengan wajah yang entah mengekspresikan apa.

“Piye kondisi Medina?”

Aku berbalik membenturkan pandangan pada wajah Mas Burhan yang nampak tidak lagi dapat menyembunyikan perasaan takut dan rasa sedihnya. Ketegaran yang ia tadi tunjukkan sebelum mengantar aku ke RSUD, tidak nampak lagi bekasnya.

“Medina wes ra ono, Mas”

Jawabanku yang datar nampaknya tidak memuaskan Mas Burhan. Dan ia sepertinya tidak dapat menerima hal itu.

“Medina masih bisa diselamatkan ,kok. Ini badannya masih hangat”

Entah, apakah Mas Burhan tak dapat menerima keponakannya sudah meninggal dunia atau bagaimana. Namun kemudian ia berusaha membuka mulut Medina dan berusaha melakukan tindakan seperti prosedur CPR.

Mas Burhan memberikan napas buatan, menekan perut Medina. Usaha Mas Burhan itu kemudian membuahkan hasil dengan keluarnya sedikit air dari mulut Medina. Bersamaan dengan keluarnya air itu, keluar pula beberapa sisa-sisa makanan yang sempat masuk ke perut Medina. Ya Allah, itu adalah cilok yang Medina sempat jajan tadi pagi. Aku yang memberikan uangnya dan ia jajan sendiri. Dan sekarang makanan itu keluar lagi dalam kondisi Medina yang sudah seperti ini.

Setelah beberapa saat, Mas Burhan menghentikan usahanya. Ia bagaimana pun tetap juga harus menerima kenyataan, bahwa keponakan yang biasa ia ajak naik motor bersama isterinya itu, sudah tidak lagi bernyawa. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Mas Burhan setelah itu, namun ia kemudian keluar ruangan, meninggalkan aku dan Medina dalam UGD yang terasa demikian sepi ini.

Entah mengapa pula, ruang UGD RSUD Muntilan saat itu demikian sepi rasanya. Kemana suara para perawat dan dokter itu? Kemana pasien yang lain? Apakah hanya Medina saat ini yang ada di ruang UGD? Aku tak tahu, namun keheningan terasa demikian menggigit, menyempurnakan kesepianku yang masih duduk di samping Medina sembari terus membelai rambut dan kadang mencium wajahnya.

Sudah menjadi kebiasaan Medina untuk tertidur dalam gendongan ayahnya sambil dibacakan shalawat. Dan sudah menjadi kesukaanya pula tertidur sambil mendengar ibunya membacakan rangkaian kalimat asmaul husna. Ia sendiri sangat menyukai apa yang aku ajari itu, bahkan Medina sendiri sudah hampir hapal 99 nama mulia Allah itu yang sering ia lantunkan dengan nadanya sendiri.

Ya Allah Ya Rahman,

Ya Rahiim Ya Malik,

Ya Quddus Ya Salam,

Ya Mu’min Ya Muhaimin,

Ya Aziz Ya Jabbar,

Ya Mutakabbir Ya Khaliq,

Ya Bari’ Ya Musawwir,

Ya Ghaffar Ya Qohhar

…..

…..

Biasanya Medina jika mendengar aku melantunkan itu, maka ia akan mengikutinya. Atau ia akan diam saja sambil seolah-olah tidak memperhatikan. Padahal sebenarnya aku tahu, Medina sangat menyukainya. Karena kadang-kadang aku sering dibuatnya terpengarah dengan kemampuannya meniru apa yang sempat aku ajarkan namun seolah tidak pernah ia perhatikan.

Hampir beberapa menit lamanya aku melantunkan kalimat-kalimat asmaul husna di telinga Medina. Aku masih berharap bahwa ia akan terbangun mendengarkan pujian kesukaannya itu. Sementara ruang UGD masih sunyi dan hening, suaraku yang pelan dan serak dalam isak tangis mengalir dengan jelas tanpa terganggu. Aku tak tahu siapa yang mendengarnya, dan aku juga tidak perduli. Aku hanya berharap Medina masih bisa terbangun dengan apa yang aku lakukan itu.

Tapi seperti sebelumnya, sudut hatiku yang lain tetap mengingatkanku kenyataan yang sesungguhnya, bahwa Medina telah tertidur selamanya. Upayaku dengan membaca asmaul husna itu tidak akan bisa membangunkan Medina lagi. Ia bahkan mungkin saja akan tertidur lebih jauh dalam dekapan kalimat-kalimat yang Maha Indah itu.

“Bangun Mbak Medina, sebentar lagi ayah pulang. Ada adek Aqsho, ada Ibuk, ada Mbah Uti…”

Saya mengulang lagi kalimat-kalimat yang seperti angin itu di telinga Medina, membiarkannya menjadi penjeda bait-bait asmaul husna yang terus saya baca.

Entah berapa menit keheningan itu membiarkan aku terhanyut di samping tubuh Medina yang tetap saja tak bergeming sejak tadi. Hingga mungkin saja sepuluh atau lima belas menit kemudian, sosok Mas Aziz muncul pula di tempat itu.

Seperti Mas Burhan, Mas Aziz juga sempat bertanya tentang Medina kepadaku. Dan jawaban yang aku berikan mungkin juga sama seperti yang aku berikan pada Mas Burhan. Dan layaknya Mas Burhan, Mas Aziz juga sekonyong-konyong tidak percaya jika Medina sudah meninggal dunia, karena sesaat kemudian ia juga berusaha membangunkan Medina.

“Medin, bangun Medin”

Suara Mas Aziz agak tertahan juga menahan gemuruh di dadanya. Namun tidak seperti Mas Burhan yang berusaha lebih jauh membangunkan Medina dengan memberikan CPR dan lainnya, Mas Aziz lebih cepat menerima kenyataan yang ada di hadapannya sekarang.

Setelah satu dua kali panggilan kepada Medina tak lagi mendapat sahutan, Mas Aziz segera mempersiapkan apa yang memang seharusnya ia lakukan. Ia keluar ruangan UGD, mungkin mengurus berbagai prosedur dan adminisrasi untuk membawa Medina pulang menggunakan ambulance. Di luar ruangan, selain Mas Aziz ada juga Pak Bayan yang juga ikut menemani. Sementara Mas Burhan, Pak Hernanto, dan juga Mas Kusni yang datang sebelumnya, aku tak tahu mereka ada dimana.

Selang beberapa lama kemudian, sebuah mobil ambulan sudah ada di depan ruang UGD. Aku dengan langkah gontai seolah tak lagi memiliki tulang, beringsut pelan dalam isakan yang tak berhenti, kemudian berjalan menuju mobil ambulance itu sambil membopong tubuh gadis kecilku yang ruhnya sudah tidak bersamaku lagi.

Dari depan rumah sakit sampai sebuah kampung bernama Sewan, sirene mobil ambulance itu meraung-raung sebagai tanda bahwa ia sedang dalam kondisi emergency. Namun selepas melewati jembatan Sewan dan masuk ke kampung Bandongan, Mas Aziz yang duduk di depanku mengetuk kaca ambulance dan memberi isyarat supaya sirenenya dimatikan saja.

Mobil ambulance yang membawa aku, Medina dan Mas Aziz terus bergerak menuju kampung Randukuning. Karena tak mungkin mengantarkan kami hingga ke depan rumah, mobil itu kemudian berhenti di samping makam kampung di mana Pakdhe Khalimi dimakamkan.

Dari sana, Medina aku bopong masih dengan iringan isak tangisku yang juga ku selingi dengan bacaan istighfar terus menerus sampai ke rumah. Sementara di dalam rumah, di ruang tamu, Mas Anton dan lainnya sudah menunggu, ia kemudian menyambut tubuh Medina dari pelukanku. Tubuh Medina tidak ia lepaskan sampai dimandikan. Dan ia sendiri pula yang kemudian membopong puterinya itu hingga ke pemakaman.


Catatan:

Bapak-bapak yang menangis di depan UGD saat itu ternyata sedang menangisi Medina. Ia tak kuasa menahan sesak dadanya melihat gadis kecil yang cantik meninggal dunia dengan cara yang menurutnya terlalu membuat iba. Bapak itu adalah warga desa Gunungpring, beberapa hari kemudian salah satu tetangganya melayat ke rumah. Dan ia bercerita mengenai bapak itu kepadaku.


Penulis terbaik

Anton Sujarwo

Saya adalah seorang penulis buku, content writer, copywriters dan juga email marketer. Saya telah menulis 14 judul buku, fiksi dan non fiksi, dan ribuan artikel sejak pertengahan tahun 2018 hingga sekarang.

Dengan pengalaman yang saya miliki, Anda bisa mengajak saya untuk bekerjasama dan menghasilkan karya. Jangan ragu untuk menghubungi saya melalui email, form kontak atau  mendapatkan update tulisan saya dengan bergabung mengikuti blog ini bersama ribuan teman yang lainnya.

Tulisan saya yang lain dapat dibaca pula pada website;

19 tanggapan untuk “Kutipan Novel Islamedina yang Paling Banyak Menguras Air Mata

Komentar ditutup.