KUTIPAN NOVEL MMA TRAIL: GENSET DARI PUNCAK ANDONG

Kutipan novel kali ini datang dari buku yang saya tulis pada tahun 2019 berjudul MMA Trail. Novel ini berkisah tentang seorang lelaki paruh baya bernama Bharal Omar yang menyusuri rute hiking di pulau Jawa bernama MMA Trail. Keputusan Omar untuk menyusuri rute hiking ini adalah untuk menelusuri jejak anak perempuannya bernama Sabiya yang meninggal beberapa bulan sebelumnya di tempat yang sama.

Pada beberapa halaman, saya menceritakan Omar mencapai puncak Andong dan bertemu dengan perempuan tua yang memiliki warung di sana. Pertemuan ini nanti akan menyulut sebuah kemarahan besar dalam jiwa Omar yang menyulut dirinya untuk berjalan lebih jauh. Namun, pada kutipan kali ini saya hanya akan mencantumkan awal pertemuan Omar saja dengan sang pemilik warung.

Buku MMA Trail sendiri dapat kamu pesan melalui pesan whatsapp disini atau download versi ebooknya disini.


Teringat dan terngiang lagi dalam benak dan telinga Omar sebuah sajak yang ditulis dalam buku milik Sabiya yang sekarang ada dalam ranselnya. Sajak tentang Andong bukan ditulis oleh Sabiya, bukan catatan kecilnya, namun memang ditulis oleh penulis buku MMA Trail itu sendiri. Dengan segala tata bahasa yang disampaikan oleh sang penulis ‘buku bodoh penuh omong kosong’ itu, Omar dapat menduga dengan yakin bahwa ia juga nampaknya seorang petualang yang jatuh cinta kepada keheningan dan kesendirian. Bahwa penulis itu mungkin saja dilihat dari kata dan kalimat yang ia gunakan, mungkin memiliki sifat dan karakter yang tak jauh berbeda dengan Sabiya. Dan mungkin saja dengan diri Omar sendiri. Tapi kemudian Omar menggeleng. Tidak, ia tidak mungkin dan tidak akan menulis buku bodoh seperti MMA Trail yang sekarang diikutinya itu.

Menjelang azan magrib mengalun berkumandang dari pengeras suara di masjid-masjid kaki Gunung Andong, Omar baru saja mencapai punggungan di mana bertemunya rute lama dan rute baru jalur pendakian Sawit. Di tempat itu ia berhenti sejenak melepas lelah dan mengatur napas yang memburu. Di bawah sana kerlip lampu-lampu yang mulai dinyalakan nampak seperti kunang-kunang yang terbang liar berterbangan.

Omar melanjutkan langkahnya kembali, meniti lereng gunung bagian belakang dari kampung Sawit. Tak ada ia berpapasan atau beriringan dengan rombongan pendaki lainnya. Selepas dari base camp lama pendakian Sawit jam setengah empat sore tadi, Omar berjalan sendiri. Ia hanya sendiri membelah rimbunan hutan pinus dan belukar yang mulai diguyur oleh cahaya temaram langit sore yang mendung.

“Malem mas. Biasanya pendaki di sini naiknya malem. Dan rata-rata setelah jam dua belas malam mereka naik. Ya mengejar sunrise untuk foto-foto”

Ujar ibu pemilik warung sekaligus pemilik base camp lama tempat Omar beristirahat tadi siang ketika Omar membeli beberapa keperluannya.

Hampir sudah gelap ketika Omar mencapai sebuah jalan bercabang pada punggungan puncak. Omar menoleh ke sebelah kiri, di ujung punggungan ia melihat sebuah bangunan kecil dengan atapnya yang berbentuk piramida dengan sebuah kuncup prisma pada bagian tengahnya. Berdasarkan informasi dan buku yang dibaca Omar, bangunan itu adalah sebuah makam seorang ulama yang sangat dihormati di sekitar Gunung Andong. Nama ulama tersebut adalah Kyai Abdul Faqih, atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Joko Pekik.

Semula Omar ingin duduk kembali melepas lelah di jalan persimpangan tersebut, namun ketika ia merasakan rintik-rintik hujan jatuh mengenai wajahnya, Omar kemudian bergerak lagi, bahkan sekarang agak terburu.

“Sialan!”

Maki Omar sambil menaiki undakan-undakan jalan setapak menuju puncak Gunung Andong yang arahnya berlawanan dengan puncak makam Ki Joko Pekik. Sebenarnya jaket yang digunakan Omar adalah waterproof, yang seharusnya membuat ia tak perlu mengkhawatirkan kehujanan. Namun bagaimana pun juga Omar tak mau kehujanan, tetap kering dan hangat di tempat sejuk tertutup kabut seperti ini jauh lebih baik daripada basah dan kehujanan.

Warung di puncak Gunung Andong, adalah restoran dan hotel yang nyaman untuk para pendaki yang kelelahan..

Omar masih ingat tulisan kecil yang disematkan Sabiya dalam bukunya yang sempat ia baca lagi di base camp tadi. Karena itulah ia kemudian memutuskan bergegas mendaki menuju puncak sambil berupaya menghindari rintik-rintik hujan. Warung yang disebut Sabiya itulah yang menjadi tujuan Omar. Karena memperhitungkan jaraknya yang tidak jauh dari persimpangan puncak makam, maka Omar memutuskan untuk tidak perlu mengambil jas hujan yang terselip di samping ranselnya.

“Permisi!”

Suara Omar bergema, masuk ke seisi warung kecil yang sekarang ada di depannya. Pintu warung itu terbuka, namun sebuah sekat kecil dari anyaman bambu setinggi dada diletakkan sekitar 1 meter di belakang pintu, membuat tidak keseluruhan isi warung bisa terlihat.

“Permisi!”

Omar berseru lagi memanggil pemilik warung, namun seperti tadi, tak ada sahutan yang terdengar.

“Permi…”

Panggilan Omar terputus, sesosok tubuh dengan kain putih membungkus seluruh badan tiba-tiba muncul dari bilik di bagian belakang warung!

Mata Omar membelalak, mulutnya tercekat, jantungnya tiba-tiba seolah berhenti berdegup. Sebuah pikiran tentang hantu, kuntilanak, pocong atau apa pun sebutannya tiba-tiba melintas dengan cepat dalam pikirannya. Dan kondisi ini semakin menjadi-jadi ketika suasana warung yang gelap gulita. Lampu teplok kecil yang ditempatkan di sudut warung dekat tumpukan mie instan hanya mampu menerangi sedikit sekali bagian warung itu.

“Monggo, monggo. Masuk, Mas..6.3

Sebuah suara perempuan terdengar menjawab panggilan Omar, sekaligus juga mengusir semua dugaan dan pikiran aneh-aneh yang sempat masuk dalam benak Omar.

“Nyuwun ngapunten mas, kulo nembe mawon shalat6.4…” suara perempuan itu terdengar lagi.

Sesaat kemudian perempuan yang tadi terbungkus kain putih yang sempat mengagetkan Omar melangkah mendekati pintu masuk yang memang tidak dipasangi penutup. Omar tak dapat melihat wajahnya ditengah guyuran gerimis dan juga temaram langit malam yang kian pekat. Tak ada cahaya yang menyinari di tempat itu, headlamp Omar juga ada di bagian dalam ranselnya sehingga susah untuk diambil. Sementara cahaya lampu teplok yang ada di sudut ruangan dekat tumbukan kardus mie instan juga tak mampu menjangkau dekat pintu di mana Omar sedang berdiri. Namun melihat gerakan dan menyimak ucapan si perempuan pemilik warung, Omar yakin bahwa kain putih melayang yang sempat membuat darahnya tersirap beberapa saat lalu adalah mukena yang dikenakan perempuan itu.

“Nyuwun ngapunten mas, niki taseh peteng. Gensete mboten saget gesang, kulo mboten saget dandani6.5…”

Omar mengerenyit tak mengerti, ia memang sering mendengar bahasa Jawa. Saat di Denpasar ia memiliki tukang taman, asisten rumah tangga dan sopir keluarga yang semuanya berasal dari kota Solo. Namun tidak semua ucapan mereka bisa dimengerti oleh Omar, meskipun Omar sering ikut nimbrung ketika mereka sedang ngobrol. Beberapa pegawai di Villa Maya yang ia sewa di Sanur juga berasal dari Jogja, dan Omar sering mendengar mereka bercakap-cakap. Tetapi ucapan perempuan dengan mukena putih barusan memang sama sekali tidak dimengerti oleh Omar secara keseluruhan.

“Iya…?”

Sahutan Omar yang terlihat agak kebingungan nampaknya dipahami oleh si perempuan bermukena, karena kemudian ia mengulang kalimatnya dengan bahasa Indonesia.

“Maaf mas, lampunya belum bisa nyala. Tadi gensetnya sudah saya coba hidupkan tetapi nggak bisa. Saya ndak bisa perbaiki. Jadi warungnya masih gelap…”

Jelas ibu itu kemudian sambil agak tergopoh-gopoh mengambil lampu teplok di sudut ruangan untuk dibawa ke bagian tengah warung.

Omar mengangguk-angguk mengerti mendengar penjelasan perempuan pemilik warung. Sebelum ia sempat menjawab, si perempuan sudah bersuara lagi dengan ramah.

“Mari masuk dulu mas, saya carikan lilin untuk nambah lampunya”

Sebelum si ibu berbalik lagi ke arah ruangan sholat di mana tadi ia sempat membuat Omar kaget, sebuah pikiran tiba-tiba melintas dalam benak Omar dan langsung membuatnya menjawab ucapan si ibu dengan cepat.

“Boleh saya lihat gensetnya?”

Langkah perempuan yang sudah agak tua itu terhenti sejenak, ia menoleh kearah Omar.

“Panjenengan6.6 bisa benerin?” tanyanya kemudian.

“Coba saya lihat dulu, Bu” sahut Omar.

Sinar remang cahaya lampu teplok yang dipindahkan si ibu pemilik warung ke tengah ruangan membuat Omar bisa melihat sekilas wajah si ibu. Perempuan itu sudah agak tua, jauh lebih tua dari Omar jika dilihat dari parasnya. Namun rautnya mengingatkan Omar pada seseorang, tapi siapa? Omar mencoba mengingat-ingat.

Setelah mengambil headlamp dari ranselnya, Omar kemudian mengikuti langkah si ibu pemilik warung ke arah belakang pondok. Dibantu oleh sinar headlamp di kepala Omar dan juga sebuah senter di tangan ibu pemilik warung, keduanya kemudian masuk ke sebuah bilik di bagian paling belakang warung di  mana genset milik si ibu berada.

“Ini mas gensetnya. Sudah tak coba berkali-kali, tetap ndak bisa hidup” 

Jelas ibu pemilik warung sambil senternya diarahkan pada sebuah mesin genset warna kuning hitam yang beberapa bagiannya sudah berkarat disana-sini.

Omar berjongkok mendekati mesin generator listrik itu, cahaya headlamp di kepalanya ia arahkan untuk menelusuri bagian-bagian genset tua tersebut. Mesin genset di hadapan Omar itu adalah sebuah genset kecil dengan output maksimal hingga 900 watt, berbahan bakar bensin dengan kapasitas tangki 3,5 liter, gagang recoil starternya sudah ditukar dengan kayu karena mungkin yang aslinya sudah rusak.

Omar kemudian mencoba menarik recoil starter untuk memicu operasional engine-nya, namun hingga tiga kali Omar melakukan hal itu, mesin genset tua itu masih membisu dan dingin saja.

Telinga berpengalaman Omar sebagai kepala tekhnisi bagian perbaikan mesin bor sumur minyak di Timur Tengah itu dengan segera dapat menemukan penyebab mesin genset tua itu tidak mau distarter. Ia mencoba sekali lagi menarik recoil starter, sekedar untuk memastikan bahwa prediksi kerusakan yang ia perhitungkan barusan tidak keliru lagi.

“Nampaknya ada kabel alternator yang putus, Bu. Selain itu, genset ini juga butuh baterai baru, baterai yang sekarang sudah sangat lemah powernya untuk memicu nyala mesin..”

“Waduh piye yo6.7…”

Si ibu pemilik warung menggaruk kepalanya kebingungan. Istilah semacam alternator, power suply dan lain semacamnya, tentu bukah hal yang familiar di telinganya.

“Sebentar Bu, ya”

Omar kemudian bangkit berdiri lalu melangkah lagi ke ruangan warung utama di mana tadi ia meletakkan ransel birunya. Dari dalam kantong bagian dalam ranselnya Omar mengeluarkan sebuah tas kecil yang berisi perlengkapan survival. Dalam tas survival itu Omar mengeluarkan sebuah muntitool warna hitam, benda itu kemudian ia bawa ke bilik genset tempat si ibu pemilik warung yang masih berdiri menunggunya.

Dengan cekatan Omar membongkar beberapa baut untuk membuka bagian genset yang ia perlu benahi. Setelah menyambung kembali seutas kabel berwarna biru yang sebelumnya terlihat terurai lepas, Omar merapikan kembali baut-baut itu dengan obeng yang tedapat pada multitools di tangannya. Setelah semua selesai, tangan Omar menarik kembali gagang recoil spring untuk mencoba menghidupkan mesin genset itu kembali.

Brummm!!!      

Suara deru mesin genset langsung tedengar, selama beberapa saat bunyinya nampak tidak stabil dan hampir-hampir akan mati lagi. Namun beberapa saat kemudian deru mesin tua pembangkit listrik generator milik ibu itu mulai terdengar normal dan siap digunakan.

“Allhamdulillah…”

Seru si ibu dengan wajah senang sumringah. Dan sesaat kemudian warung itu sudah terang benderang oleh cahaya lampu listrik bertenaga genset yang barusan saja dinyalakan.


Footnote:

  • Bahasa Jawa: “Mari, mari. Silahkan masuk mas”
    • Bahasa Jawa: “Mohon maaf mas, saya baru saja sholat”
    • Bahasa Jawa: “Mohon maaf mas, ini masih gelap. Mesin gensetnya tidak bisa nyala, saya tidak bisa memperbaikinya…”
    • Panjenengan dalam bahasa Jawa yang lembut berarti anda atau kamu.
    • Bahasa Jawa: “Waduh bagaimana ya”

anton sujarwo

Anton Sujarwo

Saya adalah seorang penulis buku, content writer, ghost writer, copywriters dan juga email marketer. Saya telah menulis 14 judul buku, fiksi dan non fiksi, dan ribuan artikel sejak pertengahan tahun 2018 hingga sekarang.

Dengan pengalaman yang saya miliki, Anda bisa mengajak saya untuk bekerjasama dan menghasilkan karya. Jangan ragu untuk menghubungi saya melalui email, form kontak atau  mendapatkan update tulisan saya dengan bergabung mengikuti blog ini bersama ribuan teman yang lainnya.

Tulisan saya yang lain dapat dibaca pula pada website;

Saya juga dapat dihubungi melalui whatsapp di tautan ini.

Fortopolio beberapa penulisan saya dapat dilihat disini:


2 tanggapan untuk “KUTIPAN NOVEL MMA TRAIL: GENSET DARI PUNCAK ANDONG

Tinggalkan komentar