Tuduhan Plagiat atas Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Tuduhan Plagiat Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck

Tahun 1962 muncul dua buah tulisan dari Abdullah Sp. masing-masing berjudul “Benarkah Dia Manfaluthi-Indonesia?” (Bintang Timur, 7 September 1962) dan “Aktor- tunggal dalam ‘Bohong di Dunia” (Bintang Timur, 14 September 1962) mengawali heboh dalam kesastraan Indonesia tahun 60-an.

Lewat kedua tulisan itu, Abdullah Sp. menuduh novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck yang sudah dicetak ulang ketujuh kalinya (cetakan pertama 1938) karya HAMKA adalah jiplakan dari novel Sous les Tilleuls (1832) karya Alphonse Karr pengarang Prancis, yang telah diterjemahkan oleh Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi ke dalam bahasa Arab dengan judul Madjdulin.

Tuduhan plagiat yang dilontarkan Abdullah Sp. ini akhirnya menimbulkan polemik pro dan kontra yang bernuansa politik yang berkepanjangan. Pihak penuduh dipelopori oleh Pramoedya Ananta Toer dan pengarang-pengarang Lekra lainnya yang menyerang HAMKA dengan gencar lewat “Lentera”, sementara pihak lain sastrawan- sastrawan seperti Anas Makruf, Ali Audah, Asrul Sani, Usmar Ismail, dan H.B. Jassin, tampil mengutarakan pendapatnya masing-masing.

HAMKA sendiri bersikap diam dan menyerahkan persoalan masalah tuduhan plagiat itu kepada suatu panitia penyelidikan dan untuk itu ia siap diadili (Ismail, 1995: 40). Di tengah hiruk-pikuk antara yang menuduh dan membela, tahun 1963 A.S. Alatas menerjemahkan novel Madjdulin ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Magdalena.

  1. Kamu punya kisah hidup menarik untuk dijadikan buku namun bingung cara menuliskannya?
  2. Antara Sous les Tilleuls, Magdalena, dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
  3. H.B. Jassin: Perbedaan antara Plagiat dan Saduran
  4. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukan Plagiat dan Saduran
  5. Hamka dan Penjara tanpa Pengadilan
  6. Kamu butuh ghost writer profesional untuk menuliskan sesuatu yang penting bagimu?

Antara Sous les Tilleuls, Magdalena, dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck

Akan tetapi, menurut H.B. Jassin (1985: 54-55) sepuluh tahun sebelum tulisan Abdullah Sp. dimuat di lembaran “Lentera”, sebenarnya Jassin telah mendengar desas desus ini beredar di antara para pengarang. Aoh K Hadimadja misalnya, menceritakan kepada Jassin bahwa ada seorang temannya menenteng sebuah buku dalam bahasa Arab berjudul Madjdulin terjemahan Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi dari sebuah novel dalam bahasa Prancis Sous les Tilleuls karya Alphonse Karr.

Sayang, Jassin ketika itu tidak menguasai bahasa Arab, sementara novel yang dalam bahasa Prancis pun tak ia dapatkan. Sehingga belum dapat ikut membandingkan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan novel terjemahan Madjdulin itu. Setelah novel terjemahan Magdalena diterbitkan, barulah Jassin mengutarakan pendapatnya secara panjang lebar lewat tulisan berjudul “Apakah Tenggelamnya Kapal van der Wijck Plagiat?” (1985: 59.69)

Jassin mengawali tulisannya dengan menjelaskan apa yang disebut jiplakan, plagiat, dan saduran itu. Dalam karang-mengarang, terjemahan kata demi kata dari bahasa asing tanpa menyatakan sumber pengambilan bahkan dengan menyebutkan nama sendiri sebagai pencipta adalah pekerjaan menjiplak.

Akan tetapi, kalau hanya ada persamaan ide, sedangkan pengungkapannya berlainan-apalagi dengan banyak penambahan ide-ide yang lain, serta pengungkapan yang jauh berlainan pula-maka itu sukar untuk disebut sebagai penjiplakan.

H.B. Jassin: Perbedaan antara Plagiat dan Saduran

Istilah plagiat menurut Jassin artinya lebih luas dan lebih kabur. Bagi Jassin, yang disebut plagiat ialah pengambilan secara harfiah maupun disamarkan dari bagian- bagian karya orang lain, tanpa menyebut sumbernya, dengan maksud mengumumkannya atas nama sendiri.

Sementara saduran adalah karangan yang mengambil jalan cerita dan bahan-bahannya dari sesuatu karangan lain (misalnya dari luar negeri), dengan mengubah dan menyesuaikan nama-nama dan suasana serta kejadian-kejadian di negeri asing itu dengan keadaan di negeri sendiri.

Atau, cerita yang mengambil cerita lain sebagai contoh dengan tidak mengadakan perubahan dalam alur cerita dan permasalahan. Yang diubah adalah lingkungan tempat dan tokoh-tokohnya disesuaikan dengan tempat dan tokoh di lingkungan si penyadur.

Nah, dengan batasan istilah seperti itulah, menurut Jassin (1985:61), Tenggelamnya Kapal van der Wijck bukan jiplakan. Alasannya, novel itu bukan terjemahan harfiah ataupun bebas dari Madjdulin karangan Manfaluthi atau pun Sous les Tilleuls karangan Alphonse Karr. HAMKA bukanlah penjiplak yang tidak mempergunakan daya fantasinya, penjiplak yang hanya sekadar mengalih bahasa, dan menyuguhkan terjemahannya sebagai ciptaan sendiri.

Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukan Plagiat dan Saduran

Tenggelamnya Kapal van der Wijck juga bukan saduran, karena terlalu banyak peristiwa lain yang bersumber pada pengalaman dan pengetahuan HAMKA sendiri. Memang ada kemiripan plot, ada pikiran-pikiran, dan gagasan-gagasan yang mengingatkan kita pada Magdalena, tetapi ada pengungkapan sendiri, pengalaman sendiri, permasalahan sendiri.

Sekiranya HAMKA ada niat untuk menyadur Magdalena, kepandaiannya melukiskan lingkungan masyarakat dan penggambaran alam serta manusianya, kemahirannya melukiskan seluk-beluk adat- istiadat, serta keahliannya membentangkan latar belakang sejarah dan masyarakat Islam di Minangkabau, mengangkat ceritanya itu jadi ciptaannya sendiri.

Manfaluthi hanya terbatas sebagai katalisator bagi daya imajinasi yang memang kaya dengan ilmu dan pengalaman. Nampak jelas isi pengalaman dan tanggapan dunia pribadi pengarang serta pengungkapan yang khas HAMKA sendiri, hingga tidaklah tepat ia disebut telah mengambil karangan Manfaluthi bulat-bulat dan kemudian sekadar mengkamuflase wajah cerita seperti pencuri sepeda mengganti-ganti onderdil barang curiannya supaya tidak dikenal orang.

Jelaslah HAMKA mempunyai masalahnya sendiri, menggali dan menimba dari pengalaman dan pengetahuannya sendiri.

Hamka dan Penjara tanpa Pengadilan

Senada dengan Jassin, A. Teeuw (1980: 105) berpendapat bahwa apabila Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Magdalena dibandingkan, maka tidaklah mungkin seseorang dapat menolak adanya persamaan yang jelas antara kedua roman itu.

Misalnya pada beberapa nukilan surat-surat tertentu yang terdapat dalam kedua buku itu sesungguhnya hampir serupa. Tentulah persamaan itu bukan kebetulan semata- mata, walaupun sukar untuk ditentukan apakah hal ini disebabkan oleh penyaduran yang dilakukan secara sadar atau hasil pengaruh yang tidak disadari.

Hanya, jika hal yang pertama itulah sebenarnya yang berlaku, maka barulah benar tuduhan tentang jiplakan itu. Sebaliknya, agak jelas sudah bahwa HAMKA menghasilkan sebuah novel yang amat berbeda sifatnya, baik isi maupun latar belakang yang bersifat Indonesia seluruhnya, dan mungkin pula sedikit banyaknya bersifat sebuah otobiografi.

Hanya, terkait dengan tuduhan itu (Ismail, 1995: 40) HAMKA seorang ulama dan pengarang Islam terkemuka saat itu, 27 Januari 1964 digiring petugas memasuki rumah tahanan dan mendekam di hotel gratis hampir tiga tahun lamanya di Sukabumi tanpa pernah diadili dan tuduhannya pun tak terbukti.

Sumber: Modul Sejarah Sastra Universitas Terbuka (PBIN4110)

Anton Sujarwo

Saya adalah seorang penulis buku, content writer, ghost writer, copywriters dan juga tutor kelas menulis. Saya telah menulis 40 judul buku, fiksi dan non fiksi, dan ribuan artikel sejak pertengahan tahun 2018 hingga sekarang.

Dengan pengalaman yang saya miliki, Anda bisa mengajak saya untuk bekerjasama dan menghasilkan karya. Jangan ragu untuk menghubungi saya melalui email, form kontak atau mendapatkan update tulisan saya dengan bergabung mengikuti blog ini bersama ribuan teman yang lainnya.

Tulisan dan karya saya yang lain dapat dibaca pula pada beberapa tautan berikut;

Saya juga dapat dihubungi melalui whatsapp di tautan ini.

Tinggalkan komentar